Hari Bersamanya
Karya : Fahri Alfian
Namanya Safira Ayu Damayanti.
Nama yang sangat begitu sempurna untuk dikagumi para kaum adam di sekolahku.
Secara fisik, ia cukup tinggi, pandai dalam beberapa pelajaran, dan berparas
ayu tentunya. Seseorang yang memiliki otak encer dalam bidang permrograman ini,
melengkapi kesempurnaan gadis kelahiran Bogor, 20 Mei 2000. Ia bisa dibilang
romantis ketika sedang free call
berdua di-line, makan berdua bersama,
membaca buku di Gramedia dan bisa dibilang menyebalkan ketika badmood nya sedang naik.
Awalnya aku bahagia dengan teman satu rombel yang bernama Sandra. Seorang gadis calon programmer juga sama seperti Safira. Entah apa penyebabnya tiba-tiba tepat pada minggu-minggu pertama matrikulasi dia begitu membenci ku, akan tetapi walaupun bagaimana pun juga dia itu tetaplah seorang sahabat yang tidak akan pernah terlupakan.
Hingga pada suatu hari di
tangga yang akan menuju lantai dua, tempat dimana ruangan ku berada, aku
bertemu dengan Safira. Pertemuan yang memang tidak pernah aku inginkan, mengapa
? karena tepat lima hari yang lalu ia menghapus kontak sosial media ku tanpa
alasan yang jelas. Saat bertemu, dia menyapaku dan memberi tawaran yang cukup
menarik bahwa dia mengundang ku untuk datang ke kedai susu yang berada tepat di
depan rumahnya.
Sesampainya di depan koridor Ruang
Osis, aku berpisah dengannya. Ia menaiki tangga menuju lantai tiga dan aku
segera masuk ke Ruangan 208. Ruangan kami berbeda, walau masih dalam jurusan
yang sama. Aku berada di rombel RPL XI-2 sedangkan Safira berada di rombel RPL
XI-4. Rombelnya hanya berselang satu rombel dengan rombelku.
Bel istirahat pertama berbunyi,
aku dan Fauzan membuka bekal yang kami bawa
untuk menghemat uang jajan. Setelah makan, kuberitahu Fauzan tentang undangan
yang Safira berikan kepadaku. Dan benar saja, dapat kutebak ekspresi wajahnya
yang tertawa dan jelas saja kaget mendengar bahwa Safira menawarkan ku untuk datang
ke kedainya.
“Lah kok gitu sih ri ? baru
juga kemaren kontak lu dia hapus ? terus sekarang dia malah ngajak lu maen ke kedai
nya?” tanya Fauzan dengan nada sinis.
“Ya mana tau zan, mungkin dia
ngundang gue karena mau minta maaf kali. Positive
thinking dulu aja zan.”
“Hmm.. kalo menurut lu dia mau
minta maaf sih, gue cuman bisa saranin mending datang aja. Tapi lu datang kan
?”
“Mungkin, tapi ga ada temen
buat ke kedainya, lagipula tau tempat kedainya juga nggak zan.”
“Gini, kalo lu ngajak gue sih,
gue gak bakal nolak. Tapi kalo lu ga ngajak, gue bakal maksa haha. Siapa tau kan
tiba-tiba kalian jadian, jadi gue bisa minta traktir oreo ke elu.” Ucap Fauzan
sembari tertawa kecil.
Kuberikan satu jitakan dikepalanya,
Fauzan memang selalu begitu. Dia selalu mendekat-dekatkanku dengan Safira,
karena menurut penilaiannya Safira mungkin saja memiliki perasaan kepadaku. Aku
memang tidak pernah menyimpan rasa untuk Safira, hanya saja entah mengapa
sewaktu dia menghapus kontakku, aku merasa kehilangan seorang gadis yang selalu
membuatku bahagia, atau biasa disebut dengan Mood booster.
Malam hari ini aku mencoba
menanyakan kepada teman-teman Safira mengapa dia se tega itu menghapus
kontakku. Menurut beberapa teman dekatnya, ia saat itu sedang banyak tugas dan
mengalami masalah di beberapa mata pelajarannya, sehingga ia kesal kepadaku dan
menghapus kontakku. Akhirnya ku beranikan untuk mengundang kembali kontak dia
sehingga aku dapat menanyakan dimana letak rumahnya berada.
Setelah sekian jam menunggu,
ia pun menerima kontakku kembali dan kudapatkan alamat Kedai Waliwis yang
berada di Jalan Waliwis No.2 Tanah Sereal Bogor Barat. Setelah kami bercanda
melalui aplikasi Blackberry Messanger
tiba-tiba handphoneku berdering dan Fauzan temanku mengatakan bahwa esok dirinya
tidak bisa menemaniku untuk datang ke kedai Safira. Pada saat itu aku putuskan
untuk berangkat sendirian melalui bantuan Google
Maps dan dengan dipandu olehnya.
Pagi harinya aku bangun dengan
semangat sekali, mengapa tidak ? karena hari itu pertama kali nya aku akan
pergi ke tempat yang memang belum pernah aku kunjungi di kota Bogor dan pertama
kali pula aku bermain bersama gadis yang dulu pernah membuatku bahagia walaupun
gadis tersebut bukanlah siapa-siapa.
Karena aku bingung keberadaan
kedainya, akhirnya aku meminta Nurul teman Safira yang juga diundang untuk ke
kedainya. Kami memutuskan untuk berangkat bersama sama. Setelah selesai
menunaikan shalat dzuhur di Masjid Raya Bogor, aku dan Nurul langsung berangkat
menuju kedai Safira.
Jalanan pada saat itu
sangatlah ramai dan juga lumayan macet dikarenakan adanya sistem one-way. Angkot kami pun hanya dapat
melaju dengan kecepatan 20-30 Km/H saja. Setibanya di depan komplek*** kami pun
turun dan mencari cari rumah yang memiliki kedai di depannya. Setelah hampir
memutari komplek yang lumayan luas akhirnya kami menemukan kedai yang mengarah
ke Portal keluar komplek.
Dari kejauhan memang tidak
nampak ada keramaian disana. Memang, Safira hanya mengundang kami berdua untuk
berkunjung ke rumahnya. Di teras kedai tersebut terlihat beberapa pelayan yang
tengah melayani para pembeli, dan mayoritas pembeli tersebut anak sekolah sepertiku.
Nurul dengan cepat menelpon Safira untuk memberitahu bahwa kami telah berada di
depan kedainya.
Keluarlah seorang gadis dari
gerbang yang berada disamping kedai tersebut. Ya , gadis yang tak lain adalah Safira.
Dan ia segera mempersilahkan kami duduk di kedainya.
“Kok kalian beneran dateng ke
sini sih ?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Lah kan lu sendiri yang
nyuruh kesini gimana sih” Dengan heran aku menjawab pertanyaan nya.
“Haha kan gue kira gajadi
kesini, tadinya sih gue mau mandi tapi setelah dipikir-pikir pada gajadi kesini,
yaudah gue tidur-tiduran lagi.”
“Haha masa jadi gadis gitu
sih. Gimana mau kelihatan menarik coba kalo kayak gitu ?”
“Yee ini ga mandi aja udah
cantik begini, apalagi kalo mandi.”
“Eh ri, datengnya ga bareng Sandra
? gue kira lu bakal nyasar tadinya hehe,” dengan tertawa kecil ia melontarkan
pertanyaan yang sederhana tapi sulit untuk dijawab.
“Sandra lagi sibuk mungkin,
jadinya bareng Nurul deh.” Dengan muka malas aku menjawab pertanyaan nya.
“Oh kalian lagi ada masalah
yaa ? maaf deh udah nanya tentang itu.”
“Eh nggak, nggak apa-apa kok.”
Kuberikan senyuman untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi apa-apa antara aku dan
Sandra.
“Oh oke-oke. Mau minum apa ?
pesen aja gue yg bayarin koo. Tapi inget, jangan yang mahal-mahal yaa hehe,”
pintanya sembari mengecilkan volume suaranya.
Safira memang tinggal tidak
dengan orang tuannya, melainkan dengan saudaranya. Ayah dan ibu nya tinggal di
Jakarta. Saat menginjak SMP, ia sudah tinggal bersama bibinya. Setiap minggu
selalu ada saudara yang datang ke rumah bibinya ini. Dan Ia juga setiap mingu
pula selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Jakarta menemui kedua
orangtuanya.
Ia lahir di Bogor. Melanjutkan
taman kanak-kanak di Cibinong. Dan sempat tinggal bersama neneknya di Cianjur .
Setelah akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bogor. Sungguh perjalanan hidup
yang amat rumit, karena harus cepat beradaptasi dengan lingkungan dan juga
teman barunya.
Selang beberapa lama, Safira
pun mengajak kami untuk makan lumpia basah.
Akhirnya kami membelinya di dekat rel kereta dan tiba-tiba ponsel Nurul
berdering. Ibunya meminta ia menjemput adiknya yang telah selesai latihan
karate yang bertempat di samping Dapur Coklat. Nurul pun segera bergegas
meninggalkan kami berdua menuju tempat latihan adiknya tersebut.
Kami pun pergi makan di taman Heulang
yang baru saja selesai direnovasi oleh
pemerintah kota Bogor. Menang taman tersebut merupakan pengalihan sementara
taman Sempur, sehingga pengunjung taman tersebut lumayan banyak bahkan saat
siang hari. Ditaman tersebut kami memilih duduk di kursi taman yang menghadap
ke arah lapangan.
“Eh ri besok sibuk gak ?”
tanyanya sembari menyantap lumpia basah yang baru saja dibeli.
“Nggak kok, ada apa emangnya ?
pasti disuruh nemenin main.”
“Iya nih hehe. Besok Minggu
aku mau pulang ke Jakarta. Kangen sama papah . Temenin mau gak ?”
“Jam berapa ? pagi aja yaa
kita turun di Jakarta Kota, maen dulu ke Kota Tua, terus naek Bogor turun di
Tebet.”
“Oke jam 9 aku tunggu di
Stasiun Bogor. Jangan telat yaa.” Pintanya sambil menggulung tempat lumpia
basah dan membuangnya pada tong sampah.
“Eh pulang yuk. Udah mau hujan
nih, tar aku malah kehujanan di jalan.” Ajak ku sambil melihat awan hitam yang
menandakan hujan akan turun.
“Yuk, pulang nya tau gak ?”
“Tau lah. Yakali berangkatnya
bisa pulang nya gabisa.”
Tepat pukul 03.15 kami pun
berpisah di depan SMAN 6 Bogor . Ia langsung pulang ke rumahnya dan aku menaiki
angkot untuk pulang kerumah. Sungguh sangat senang sekali bisa bersamanya
walaupun hanya sebentar. Tapi tak apa, karena masih ada waktu di hari Minggu
untuk menemaninya pulang ke Jakarta.
Langit hari Minggu ini begitu
cerah. Kulihat jam tangan sudah menunjukan pukul 07.45. Aku pun bergegas menuju
Stasiun Bogor . Tepat pukul 09.10
aku pun baru menaiki jembatan penyebrangan. Kulihat ponselku, terdapat 8
panggilan tak terjawab dan 6 pesan masuk. Benar saja, ternyata Safira telah
lama menugguku di Stasiun. Aku pun meminta maaf. Akhirnya ia pun membelikan dua
tiket perjalanan menuju Jakarta Kota, dan aku menunggu di Gate-in.
Safira pun meminta izin untuk
ke Indomaret yang berada di dalam Stasiun. Aku pun dengan cepat memasuki
Alfamart yang tepat berada di sebelah Indomaret. Ku ambil dua buah coklat Silverqueen berukuran sedang dan juga
satu botol air mineral. Saat ia keluar Nampak wajahnya muram. Ternyata ia sudah
lapar karena terlalu lama menungguku di Stasiun dan ia tidak menemukan roti di
Mini market tersebut.
Kami pun bergegas memasuki KRL
dengan tujuan akhir Jakarta kota. Di dalam kereta, aku duduk persis di
sampingnya. Memang, kereta pertama telah take
off beberapa puluh menit yang lalu,
sehingga kereta yang kami naiki ini terlihat sepi. Di Stasiun Cilebut ternyata
terdapat banyak penumpang yang naik. Aku memutuskan untuk berdiri dan
mempersilahkan kepada salah satu wanita untuk duduk. Tak ku sangka, ternyata
Safira pun ikut berdiri disamping ku dan juga mempersilahkan wanita paruh baya
untuk duduk di bangkunya.
Saat Safira akan beranjak,
tiba-tiba kereta berjalan dan ia dengan reflek
memegang tanganku agar ia tidak jatuh. Mata kami pun saling bertemu. Dapat ku
lihat dengan jelas mata yang begitu indah, dan aku pun dapat membaca melalui
kedua matanya bahwa ia pun memiliki rasa yang sama kepadaku.
Setibanya di Stasiun Jakarta
Kota kami langsung menuju tempat wisata Kota Tua. Aku yang baru pertama kali
datang ke tempat ini merasa heran, karena memang bangunan di daerah wisata ini
sangat lah terawat. Kami pun mengunjungi Museum Mandiri, awal masuk aku kira
bayar, ternyata bebas tiket masuk. Di Museum Mandiri ini terdapat banyak
sejarah-sejarah terbentuk nya bank Mandiri, alat-alat untuk bertransaksi di
bank, hingga terdapat patung dari tokoh-tokoh yang terlibat.
Jam tangan telah menunjukan
pukul 11.00. Jakarta memang kota metropolitan yang suhu daerah nya sangatlah
panas, berbeda dengan Bogor. Kami pun keluar dan hendak menyambung kembali
perjalanan ke Tebet. Setibanya di halaman depan Kota Tua, aku pun mengambil dua
buah coklat dari dalam tas yang aku beli saat masih di Bogor.
“Safira,
kita udah temenan sejak dulu kita belajar malem. Udah lama juga sahabatan. Aku
merasa nyaman kalo berada di dekat kamu. Kalo kita punya masalah, pasti ada
salah satu dari kita yang selalu mengalah. Dan satu lagi, yang awalnya sahabat
menjadi cinta itu karena ketulusan, jadi jangan menyia-nyiakan orang yang udah
tulus ke kamu.”
Dapat ku lihat, wajahnya
memerah, matanya pun berkaca-kaca membendung air mata yang akan keluar.
Sebenarnnya aku tidak menginginkan pacaran, mengapa ? karena apabila putus, aku
akan kehilangan seseorang yang begitu indah mengisi hari-hari ku. Dan aku pun
tidak pernah meminta ia untuk mengisi kekosongan hati ini.
“Aku
pun merasakan apa yang kamu rasakan kok ri. Aku juga mau menerima kekurangan
kamu. Dan terimakasih juga udah mau sabar kalo menghadapi aku.” Ucapnya sambil
terisak.
Saat itu pula aku
mengungkapkan seluruh perasaan ku kepadanya. Kami memang tidak jadi pacaran,
akan tetapi akan lebih terasa apabila menjadi teman dengan rasa pacaran.
Sehingga masih terus dapat menjalin silaturahmi antara aku dengan dia.
Setelah menghabiskan coklat,
kami langsung menuju Stasiun Jakarta Kota untuk melanjutkan perjalanan ke
Stasiun Tebet. Di dalam kereta kami selalu bercanda, bahkan sewaktu tiba di
Stasiun Lenteng Agung, aku menyuruh Safira turun untuk menemui teman-teman nya
di Ragunan.
“Yah
udah nyampe Stasiun Manggarai aja nih, gak kerasa ya ri. Makasih ya udah mau
nemenin di kereta. Maafin ya aku ga bisa ngajakin kamu main ke rumah.”
“Iya
gapapa kok, lain waktu aja. Aku juga ikut seneng bisa nemenin.”
“Kamu
gak apa-apa kan pulang sendirian ? nanti pas nyampe Tebet kita sholat dulu
yaa.”Pintanya sambil menatap mataku.
“Iya
bawel. Nanti dijemput sama papah kamu kan ?”
“Pastilah,
kalau ga dijemput aku takut pulang sendirian.”
“Kalo
udah nyampe Stasiun Bogor kabarin yaa. Jangan lupa makan siang lho.” Sambungnya
dengan memberiku peringatan.
Kulirik jam telah menunjukan
pukul 13.20. Kami tiba di Stasiun Tebet dan langsung mencari Mushola. Setelah
selesai menunaikan sholat dzuhur. Aku langung menukarkan tiket dan memesan
tiket perjalanan ke Bogor. Kami pun berpisah di Stasiun Tebet, ia menghampiri
ayahnya yang menunggu di pintu keluar, dan aku menaiki kereta untuk pulang
kembali ke rumah. Memang terlihat aneh, saat aku masih berteman dengan nya, aku
dan dia selalu menggunakan kata elu gw, sedangkaan saat bermesraan kami selalu
menggunakan kata aku dan kamu.
Hari ini Selasa, 20 September
2016. Tanggal yang sangat cantik, tanggal ini merupakan tanggal kelahiran ku
dan juga tanggal kelahiran Safira. Malam nya aku membuka laptop seperti biasa
dan melanjutkan tugas cerpen Bahasa Indonesia. Setelah lelah mengetik, aku
mencoba menghubungi Safira karena aku sangat rindu dengan suaranya.
Saat kutanya, ternyata ia
besok akan menghadapi ulangan dengan mata pelajaran Sistem Komputer. Aku pun
menutup telepon dan tak lupa menyemangatinya agar ia mendapatkan nilai kompeten
dalam mata pelajaran tersebut. Entah sebuah kebetulan atau tidak, saat aku
membuka file-file di laptop, terdapat
beberapa screnshoot chat lama ku
dengan Safira dan mendorongku untuk merubah pesan pribadi di BBM. Dan dengan segera pesan pribadi
tersebut aku rubah dengan kalimat “Kangen
dibangunin pas waktunya Shalat Subuh “. Ternyata terdapat banyak tanggapan
dari berbagai temanku. Ada yang bertanggapan positif dan yang negatif tentunya.
Ada salah satu teman Safira
yang tak lain mantan dia pula menegur ku dan meminta untuk tidak berlebihan
kepadanya. Setelah berdebat akhirnya aku pula yang harus mengalah dan merelakan
untuk segera melupakan Safira. Aku segera meminta Safira untuk menghapus
kembali kontak ku dan aku berjanji untuk tidak mengusik kehidupannya lagi.
Akhirnya ia harus menarik janjinya yang semula berjanji tidak akan pernah
menghapus kontakku lagi, dengan terpaksa ia pun harus menghapus kontakku kembali.
Hari-hari berlalu, disekolah
nampak Safira begitu nyaman bersama dengan mantan kekasihnya. Sakit ? sudah
pasti aku rasakan. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus belajar cara merelakan
seseorang yang sangat berkesan bagi hidupku. Memang ini semua salahku, mengapa
aku tidak jadi menembaknya saat di Kota Tua ? mengapa aku dekat dengannya saat
sang mantan kembali mengisi kehidupannya. Penyesalan memang tidak akan pernah datang
di awal. Berat sekali melakukannya sungguh berat karena itu berarti aku harus
menikam hatiku sendiri setiap detiknya.
Safira yang dulu sangat dekat bagaikan
kulit dengan urat nadi tapi kini menjauh bagaikan bumi dengan matahari. Dengan
perlahan-lahan, aku pun dapat melupakan hari-hari bersamanya yang sangat indah
dan tidak akan pernah kulupakan didalam kehidupan ku.
Emoticon Emoticon