Monday 12 December 2016

Cerpen Hari Bersamanya

Hari Bersamanya
Karya : Fahri Alfian
Namanya Safira Ayu Damayanti. Nama yang sangat begitu sempurna untuk dikagumi para kaum adam di sekolahku. Secara fisik, ia cukup tinggi, pandai dalam beberapa pelajaran, dan berparas ayu tentunya. Seseorang yang memiliki otak encer dalam bidang permrograman ini, melengkapi kesempurnaan gadis kelahiran Bogor, 20 Mei 2000. Ia bisa dibilang romantis ketika sedang free call berdua di-line, makan berdua bersama, membaca buku di Gramedia dan bisa dibilang menyebalkan ketika badmood nya sedang naik.

Awalnya aku bahagia dengan teman satu rombel yang bernama Sandra. Seorang gadis calon programmer juga sama seperti Safira. Entah apa penyebabnya tiba-tiba tepat pada minggu-minggu pertama matrikulasi dia begitu membenci ku, akan tetapi walaupun bagaimana pun juga dia itu tetaplah seorang sahabat yang tidak akan pernah terlupakan.
Hingga pada suatu hari di tangga yang akan menuju lantai dua, tempat dimana ruangan ku berada, aku bertemu dengan Safira. Pertemuan yang memang tidak pernah aku inginkan, mengapa ? karena tepat lima hari yang lalu ia menghapus kontak sosial media ku tanpa alasan yang jelas. Saat bertemu, dia menyapaku dan memberi tawaran yang cukup menarik bahwa dia mengundang ku untuk datang ke kedai susu yang berada tepat di depan rumahnya.
Sesampainya di depan koridor Ruang Osis, aku berpisah dengannya. Ia menaiki tangga menuju lantai tiga dan aku segera masuk ke Ruangan 208. Ruangan kami berbeda, walau masih dalam jurusan yang sama. Aku berada di rombel RPL XI-2 sedangkan Safira berada di rombel RPL XI-4. Rombelnya hanya berselang satu rombel dengan rombelku.
Bel istirahat pertama berbunyi, aku dan Fauzan membuka bekal yang kami bawa  untuk menghemat uang jajan. Setelah makan, kuberitahu Fauzan tentang undangan yang Safira berikan kepadaku. Dan benar saja, dapat kutebak ekspresi wajahnya yang tertawa dan jelas saja kaget mendengar bahwa Safira menawarkan ku untuk datang ke kedainya.
“Lah kok gitu sih ri ? baru juga kemaren kontak lu dia hapus ? terus sekarang dia malah ngajak lu maen ke kedai nya?” tanya Fauzan dengan nada sinis.
“Ya mana tau zan, mungkin dia ngundang gue karena mau minta maaf kali. Positive thinking dulu aja zan.”
“Hmm.. kalo menurut lu dia mau minta maaf sih, gue cuman bisa saranin mending datang aja. Tapi lu datang kan ?”
“Mungkin, tapi ga ada temen buat ke kedainya, lagipula tau tempat kedainya juga nggak zan.”
“Gini, kalo lu ngajak gue sih, gue gak bakal nolak. Tapi kalo lu ga ngajak, gue bakal maksa haha. Siapa tau kan tiba-tiba kalian jadian, jadi gue bisa minta traktir oreo ke elu.” Ucap Fauzan sembari tertawa kecil.
Kuberikan satu jitakan dikepalanya, Fauzan memang selalu begitu. Dia selalu mendekat-dekatkanku dengan Safira, karena menurut penilaiannya Safira mungkin saja memiliki perasaan kepadaku. Aku memang tidak pernah menyimpan rasa untuk Safira, hanya saja entah mengapa sewaktu dia menghapus kontakku, aku merasa kehilangan seorang gadis yang selalu membuatku bahagia, atau biasa disebut dengan Mood booster.
Malam hari ini aku mencoba menanyakan kepada teman-teman Safira mengapa dia se tega itu menghapus kontakku. Menurut beberapa teman dekatnya, ia saat itu sedang banyak tugas dan mengalami masalah di beberapa mata pelajarannya, sehingga ia kesal kepadaku dan menghapus kontakku. Akhirnya ku beranikan untuk mengundang kembali kontak dia sehingga aku dapat menanyakan dimana letak rumahnya berada.
Setelah sekian jam menunggu, ia pun menerima kontakku kembali dan kudapatkan alamat Kedai Waliwis yang berada di Jalan Waliwis No.2 Tanah Sereal Bogor Barat. Setelah kami bercanda melalui aplikasi Blackberry Messanger tiba-tiba handphoneku berdering dan Fauzan temanku mengatakan bahwa esok dirinya tidak bisa menemaniku untuk datang ke kedai Safira. Pada saat itu aku putuskan untuk berangkat sendirian melalui bantuan Google Maps dan dengan dipandu olehnya.
Pagi harinya aku bangun dengan semangat sekali, mengapa tidak ? karena hari itu pertama kali nya aku akan pergi ke tempat yang memang belum pernah aku kunjungi di kota Bogor dan pertama kali pula aku bermain bersama gadis yang dulu pernah membuatku bahagia walaupun gadis tersebut bukanlah siapa-siapa.
Karena aku bingung keberadaan kedainya, akhirnya aku meminta Nurul teman Safira yang juga diundang untuk ke kedainya. Kami memutuskan untuk berangkat bersama sama. Setelah selesai menunaikan shalat dzuhur di Masjid Raya Bogor, aku dan Nurul langsung berangkat menuju kedai Safira.
Jalanan pada saat itu sangatlah ramai dan juga lumayan macet dikarenakan adanya sistem one-way. Angkot kami pun hanya dapat melaju dengan kecepatan 20-30 Km/H saja. Setibanya di depan komplek*** kami pun turun dan mencari cari rumah yang memiliki kedai di depannya. Setelah hampir memutari komplek yang lumayan luas akhirnya kami menemukan kedai yang mengarah ke Portal keluar komplek.
Dari kejauhan memang tidak nampak ada keramaian disana. Memang, Safira hanya mengundang kami berdua untuk berkunjung ke rumahnya. Di teras kedai tersebut terlihat beberapa pelayan yang tengah melayani para pembeli, dan mayoritas pembeli tersebut anak sekolah sepertiku. Nurul dengan cepat menelpon Safira untuk memberitahu bahwa kami telah berada di depan kedainya.
Keluarlah seorang gadis dari gerbang yang berada disamping kedai tersebut. Ya , gadis yang tak lain adalah Safira. Dan ia segera mempersilahkan kami duduk di kedainya.
“Kok kalian beneran dateng ke sini sih ?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Lah kan lu sendiri yang nyuruh kesini gimana sih” Dengan heran aku menjawab pertanyaan nya.
“Haha kan gue kira gajadi kesini, tadinya sih gue mau mandi tapi setelah dipikir-pikir pada gajadi kesini, yaudah gue tidur-tiduran lagi.”
“Haha masa jadi gadis gitu sih. Gimana mau kelihatan menarik coba kalo kayak gitu ?”
“Yee ini ga mandi aja udah cantik begini, apalagi kalo mandi.”
“Eh ri, datengnya ga bareng Sandra ? gue kira lu bakal nyasar tadinya hehe,” dengan tertawa kecil ia melontarkan pertanyaan yang sederhana tapi sulit untuk dijawab.
“Sandra lagi sibuk mungkin, jadinya bareng Nurul deh.” Dengan muka malas aku menjawab pertanyaan nya.
“Oh kalian lagi ada masalah yaa ? maaf deh udah nanya tentang itu.”
“Eh nggak, nggak apa-apa kok.” Kuberikan senyuman untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi apa-apa antara aku dan Sandra.
“Oh oke-oke. Mau minum apa ? pesen aja gue yg bayarin koo. Tapi inget, jangan yang mahal-mahal yaa hehe,” pintanya sembari mengecilkan volume suaranya.
Safira memang tinggal tidak dengan orang tuannya, melainkan dengan saudaranya. Ayah dan ibu nya tinggal di Jakarta. Saat menginjak SMP, ia sudah tinggal bersama bibinya. Setiap minggu selalu ada saudara yang datang ke rumah bibinya ini. Dan Ia juga setiap mingu pula selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Jakarta menemui kedua orangtuanya.
Ia lahir di Bogor. Melanjutkan taman kanak-kanak di Cibinong. Dan sempat tinggal bersama neneknya di Cianjur . Setelah akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bogor. Sungguh perjalanan hidup yang amat rumit, karena harus cepat beradaptasi dengan lingkungan dan juga teman barunya.
Selang beberapa lama, Safira pun mengajak kami untuk makan lumpia basah. Akhirnya kami membelinya di dekat rel kereta dan tiba-tiba ponsel Nurul berdering. Ibunya meminta ia menjemput adiknya yang telah selesai latihan karate yang bertempat di samping Dapur Coklat. Nurul pun segera bergegas meninggalkan kami berdua menuju tempat latihan adiknya tersebut.
Kami pun pergi makan di taman Heulang yang baru saja selesai direnovasi oleh pemerintah kota Bogor. Menang taman tersebut merupakan pengalihan sementara taman Sempur, sehingga pengunjung taman tersebut lumayan banyak bahkan saat siang hari. Ditaman tersebut kami memilih duduk di kursi taman yang menghadap ke arah lapangan.
“Eh ri besok sibuk gak ?” tanyanya sembari menyantap lumpia basah yang baru saja dibeli.
“Nggak kok, ada apa emangnya ? pasti disuruh nemenin main.”
“Iya nih hehe. Besok Minggu aku mau pulang ke Jakarta. Kangen sama papah . Temenin mau gak ?”
“Jam berapa ? pagi aja yaa kita turun di Jakarta Kota, maen dulu ke Kota Tua, terus naek Bogor turun di Tebet.”
“Oke jam 9 aku tunggu di Stasiun Bogor. Jangan telat yaa.” Pintanya sambil menggulung tempat lumpia basah dan membuangnya pada tong sampah.
“Eh pulang yuk. Udah mau hujan nih, tar aku malah kehujanan di jalan.” Ajak ku sambil melihat awan hitam yang menandakan hujan akan turun.
“Yuk, pulang nya tau gak ?”
“Tau lah. Yakali berangkatnya bisa pulang nya gabisa.”
Tepat pukul 03.15 kami pun berpisah di depan SMAN 6 Bogor . Ia langsung pulang ke rumahnya dan aku menaiki angkot untuk pulang kerumah. Sungguh sangat senang sekali bisa bersamanya walaupun hanya sebentar. Tapi tak apa, karena masih ada waktu di hari Minggu untuk menemaninya pulang ke Jakarta.
Langit hari Minggu ini begitu cerah. Kulihat jam tangan sudah menunjukan pukul 07.45. Aku pun bergegas menuju Stasiun Bogor          . Tepat pukul 09.10 aku pun baru menaiki jembatan penyebrangan. Kulihat ponselku, terdapat 8 panggilan tak terjawab dan 6 pesan masuk. Benar saja, ternyata Safira telah lama menugguku di Stasiun. Aku pun meminta maaf. Akhirnya ia pun membelikan dua tiket perjalanan menuju Jakarta Kota, dan aku menunggu di Gate-in.
Safira pun meminta izin untuk ke Indomaret yang berada di dalam Stasiun. Aku pun dengan cepat memasuki Alfamart yang tepat berada di sebelah Indomaret. Ku ambil dua buah coklat Silverqueen berukuran sedang dan juga satu botol air mineral. Saat ia keluar Nampak wajahnya muram. Ternyata ia sudah lapar karena terlalu lama menungguku di Stasiun dan ia tidak menemukan roti di Mini market tersebut.
Kami pun bergegas memasuki KRL dengan tujuan akhir Jakarta kota. Di dalam kereta, aku duduk persis di sampingnya. Memang, kereta pertama telah take off  beberapa puluh menit yang lalu, sehingga kereta yang kami naiki ini terlihat sepi. Di Stasiun Cilebut ternyata terdapat banyak penumpang yang naik. Aku memutuskan untuk berdiri dan mempersilahkan kepada salah satu wanita untuk duduk. Tak ku sangka, ternyata Safira pun ikut berdiri disamping ku dan juga mempersilahkan wanita paruh baya untuk duduk di bangkunya.
Saat Safira akan beranjak, tiba-tiba kereta berjalan dan ia dengan reflek memegang tanganku agar ia tidak jatuh. Mata kami pun saling bertemu. Dapat ku lihat dengan jelas mata yang begitu indah, dan aku pun dapat membaca melalui kedua matanya bahwa ia pun memiliki rasa yang sama kepadaku.
Setibanya di Stasiun Jakarta Kota kami langsung menuju tempat wisata Kota Tua. Aku yang baru pertama kali datang ke tempat ini merasa heran, karena memang bangunan di daerah wisata ini sangat lah terawat. Kami pun mengunjungi Museum Mandiri, awal masuk aku kira bayar, ternyata bebas tiket masuk. Di Museum Mandiri ini terdapat banyak sejarah-sejarah terbentuk nya bank Mandiri, alat-alat untuk bertransaksi di bank, hingga terdapat patung dari tokoh-tokoh yang terlibat.
Jam tangan telah menunjukan pukul 11.00. Jakarta memang kota metropolitan yang suhu daerah nya sangatlah panas, berbeda dengan Bogor. Kami pun keluar dan hendak menyambung kembali perjalanan ke Tebet. Setibanya di halaman depan Kota Tua, aku pun mengambil dua buah coklat dari dalam tas yang aku beli saat masih di Bogor.
            “Safira, kita udah temenan sejak dulu kita belajar malem. Udah lama juga sahabatan. Aku merasa nyaman kalo berada di dekat kamu. Kalo kita punya masalah, pasti ada salah satu dari kita yang selalu mengalah. Dan satu lagi, yang awalnya sahabat menjadi cinta itu karena ketulusan, jadi jangan menyia-nyiakan orang yang udah tulus ke kamu.”
Dapat ku lihat, wajahnya memerah, matanya pun berkaca-kaca membendung air mata yang akan keluar. Sebenarnnya aku tidak menginginkan pacaran, mengapa ? karena apabila putus, aku akan kehilangan seseorang yang begitu indah mengisi hari-hari ku. Dan aku pun tidak pernah meminta ia untuk mengisi kekosongan hati ini.
            “Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan kok ri. Aku juga mau menerima kekurangan kamu. Dan terimakasih juga udah mau sabar kalo menghadapi aku.” Ucapnya sambil terisak.
Saat itu pula aku mengungkapkan seluruh perasaan ku kepadanya. Kami memang tidak jadi pacaran, akan tetapi akan lebih terasa apabila menjadi teman dengan rasa pacaran. Sehingga masih terus dapat menjalin silaturahmi antara aku dengan dia.
Setelah menghabiskan coklat, kami langsung menuju Stasiun Jakarta Kota untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Tebet. Di dalam kereta kami selalu bercanda, bahkan sewaktu tiba di Stasiun Lenteng Agung, aku menyuruh Safira turun untuk menemui teman-teman nya di Ragunan.
            “Yah udah nyampe Stasiun Manggarai aja nih, gak kerasa ya ri. Makasih ya udah mau nemenin di kereta. Maafin ya aku ga bisa ngajakin kamu main ke rumah.”
            “Iya gapapa kok, lain waktu aja. Aku juga ikut seneng bisa nemenin.”
            “Kamu gak apa-apa kan pulang sendirian ? nanti pas nyampe Tebet kita sholat dulu yaa.”Pintanya sambil menatap mataku.
            “Iya bawel. Nanti dijemput sama papah kamu kan ?”
            “Pastilah, kalau ga dijemput aku takut pulang sendirian.”
            “Kalo udah nyampe Stasiun Bogor kabarin yaa. Jangan lupa makan siang lho.” Sambungnya dengan memberiku peringatan.
Kulirik jam telah menunjukan pukul 13.20. Kami tiba di Stasiun Tebet dan langsung mencari Mushola. Setelah selesai menunaikan sholat dzuhur. Aku langung menukarkan tiket dan memesan tiket perjalanan ke Bogor. Kami pun berpisah di Stasiun Tebet, ia menghampiri ayahnya yang menunggu di pintu keluar, dan aku menaiki kereta untuk pulang kembali ke rumah. Memang terlihat aneh, saat aku masih berteman dengan nya, aku dan dia selalu menggunakan kata elu gw, sedangkaan saat bermesraan kami selalu menggunakan kata aku dan kamu.
Hari ini Selasa, 20 September 2016. Tanggal yang sangat cantik, tanggal ini merupakan tanggal kelahiran ku dan juga tanggal kelahiran Safira. Malam nya aku membuka laptop seperti biasa dan melanjutkan tugas cerpen Bahasa Indonesia. Setelah lelah mengetik, aku mencoba menghubungi Safira karena aku sangat rindu dengan suaranya.
Saat kutanya, ternyata ia besok akan menghadapi ulangan dengan mata pelajaran Sistem Komputer. Aku pun menutup telepon dan tak lupa menyemangatinya agar ia mendapatkan nilai kompeten dalam mata pelajaran tersebut. Entah sebuah kebetulan atau tidak, saat aku membuka file-file di laptop, terdapat beberapa screnshoot chat lama ku dengan Safira dan mendorongku untuk merubah pesan pribadi di BBM. Dan dengan segera pesan pribadi tersebut aku rubah dengan kalimat “Kangen dibangunin pas waktunya Shalat Subuh “. Ternyata terdapat banyak tanggapan dari berbagai temanku. Ada yang bertanggapan positif dan yang negatif tentunya.
Ada salah satu teman Safira yang tak lain mantan dia pula menegur ku dan meminta untuk tidak berlebihan kepadanya. Setelah berdebat akhirnya aku pula yang harus mengalah dan merelakan untuk segera melupakan Safira. Aku segera meminta Safira untuk menghapus kembali kontak ku dan aku berjanji untuk tidak mengusik kehidupannya lagi. Akhirnya ia harus menarik janjinya yang semula berjanji tidak akan pernah menghapus kontakku lagi, dengan terpaksa ia pun harus menghapus kontakku kembali.
Hari-hari berlalu, disekolah nampak Safira begitu nyaman bersama dengan mantan kekasihnya. Sakit ? sudah pasti aku rasakan. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus belajar cara merelakan seseorang yang sangat berkesan bagi hidupku. Memang ini semua salahku, mengapa aku tidak jadi menembaknya saat di Kota Tua ? mengapa aku dekat dengannya saat sang mantan kembali mengisi kehidupannya. Penyesalan memang tidak akan pernah datang di awal. Berat sekali melakukannya sungguh berat karena itu berarti aku harus menikam hatiku sendiri setiap detiknya.
Safira yang dulu sangat dekat bagaikan kulit dengan urat nadi tapi kini menjauh bagaikan bumi dengan matahari. Dengan perlahan-lahan, aku pun dapat melupakan hari-hari bersamanya yang sangat indah dan tidak akan pernah kulupakan didalam kehidupan ku.
                                                   -TAMAT-


Emoticon Emoticon